opini

BERGURU DALAM TRADISI KEILMUAN ISLAM

Oleh: Mukhlas Nugraha (Dosen IAI Muhammad Azim Jambi) Dalam bukunya A History of Knowledge: Past, Present, and Future, Charles Van Doren, seorang cendikiawan asal Amerika, menggambarkan bahwa zaman sekarang dikenal dengan zaman ledakan ilmu pengetahuan (knowledge explosion) (1992: xvii). Gambaran Van Doren tersebut benar adanya. Tiap tahun, ratusan buku dan jurnal diterbitkan. Ilmu pengetahuan baru dan laman web selalu bermunculan dan tersebar di mana-mana. Hanya dalam hitungan detik saja, melalui teknologi internet misalnya, kita dapat mengetahui berbagai kejadian di berbagai belahan dunia, dari ufuk timur hingga ufuk barat Dengan munculnya ledakan ilmu pengetahuan, secara positif kita dengan mudah bisa mengakses dan mendapatkan berbagai informasi, tetapi di sisi lain fenomena tersebut melahirkan banyak pilihan, sehingga menimbulkan kebingungan dalam memilih dan memilah informasi yang benar, khususnya kepada para pencari ilmu yang menekuni ilmu di bidangnya, dan lebih khususnya lagi kepada pencari ilmu yang sedang menekuni ilmu agama, yang menjadi fokus utama tulisan ini. Telah dimaklumi bahwa mencari ilmu itu penting. Bahkan dalam Islam, pencarian ilmu sangat ditekankan yang bersumberkan dari al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad s.a.w., serta pepatah hikmah para ilmuan Islam dari dahulu hingga sekarang. Mencari ilmu bukan semata-mata dianjurkan, bahkan diwajibkan ke atas setiap laki-laki dan perempuan, sebagaimana dalam hadis Rasulullah s.a.w. yang berbunyi “menuntut ilmu adalah suatu kewajiban (farīdhah) bagi setiap laki-laki dan perempuan (Sunan Ibn Majjah: no. 224).” Selain itu, dalam hadis yang lain baginda juga menyuruh umatnya menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina (al-Bayhaqi, al-Jāmiʿ li Shuʿab al-Īmān: no. 1543). Bahkan dari pepatah ulama, menuntut ilmu hendaklah berterusan hingga akhir hayat. Maka, kewajiban menuntut ilmu adalah satu proses yang berkelanjutan, sepanjang jangka hidup seorang muslim di manapun dia berada. Di sinilah ketinggian Islam dalam memuliakan pencarian ilmu dan menanamkan budaya ilmu yang tinggi bagi para penuntutnya. Tetapi mencari ilmu itu ada adabnya. Meskipun mencari ilmu adalah perbuatan yang mulia, tetapi ia juga perkara yang sulit (ṭalab al-‘ilm min aʿla al-umūr wa ashʿabihā), demikian kata imam al-Zarnuji dalam kitabnya Talīm al-Mutaallim Tharīq al-Ta`allum (2004: 21). Kenapa? Karena seseorang yang mencari ilmu melalui sumber yang tidak punya otoritas di bidangnya misalnya, bisa saja mengelirukan pikirannya, karena ilmu yang diperolehnya tidak benar. Apalagi, jika dia mengikuti perdebatan orang-orang mengenai ilmu, sedangkan dia belum cukup untuk mengikutinya, ini bisa lebih mengelirukan. Maka dari itu, kehadiran guru sebagai pembimbing dalam belajar menjadi sangat penting, agar pencari ilmu tidak jatuh ke dalam keraguan dan kebimbangan. Bak kata Imam al-Ghazālī: “mencegah orang yang baru belajar dari mencampuri persoalan-persoalan yang meragukan, sama halnya dengan mencegah orang yang baru saja masuk Islam dari pergaulan orang-orang non-muslim (kafir)” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jil.1: 51). Di sinilah peran guru sebagai penunjuk jalan kepada pelajar tersebut. Oleh sebab itu, benarlah nasehat Sahabat Ali r.a. bahwa salah satu syarat untuk mendapatkan ilmu adalah melalui irsyādu ustādz, bimbingan guru (al-Zarnuji, Ta’līm al-Muta‘allim: 23). Lebih lanjut al-Zarnuji menasehatkan bahwa untuk mendapatkan guru pun, ia harus memilih siapa guru yang mengajarkan ilmu kepadanya. Dan jangan pula tergesa-gesa tatkala memilih guru, tetapi bermusyawarahlah kepada orang alim dan berfikir beberapa waktu sehingga benar-benar yakin siapa guru terbaik dalam bidang ilmu yang diminatinya. Hal ini tercermin dari nasehat beliau dengan mengutip perkataan ahli hikmah: “jika kamu pergi mencari ilmu ke negeri Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih guru, tetapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berfikir untuk memilih guru. Karena apabila kamu langsung belajar kepada seorang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkahi. Oleh karena itu, selama dua bulan itu, hendaklah kamu berfikir untuk memilih guru, supaya kamu tidak meninggalkan seorang guru, dan supaya betah bersamanya hingga selesai. Dengan demikian, belajar dan ilmumu diberkahi” (al-Zarnuji, Ta’līm: 21). Nasehat al-Zarnuji ini patut direnungkan. Ini merupakan satu gambaran bahwa Islam sangat memandang tinggi kedudukan guru dan ilmu. Mencari guru berdasarkan kriteria yang terbaik akan membentuk kepribadian dan keilmuan pencari ilmu tersebut. Lalu, apa kriteria guru yang dimaksud? Al-Zarnuji berkata: “carilah yang alim (a‘lām), wara (awrā‘), dan lebih tua usianya (pengalaman)”. Ini lah juga yang diamalkan langsung oleh Imam Abu Hanifah tatkala beliau ingin menuntut ilmu dengan terlebih dahulu mencari guru. Setelah Imam Abu Hanifah memikir dan mempertimbangkannya, maka didapatinya gurunya tersebut bernama Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman. Beliau berkata: “beliau saya kenal sebagai orang tua yang berbudi luhur, berdada lebar (sabar), dan sabar dalam suatu perkara. Lanjut kata Imam Abu Hanifah: “Saya mengabdi di pangkuan syaikh Hammad bin Abu Sulaiman, dan ternyata [bersamanya] ilmu sayapun semakin berkembang.” Namun begitu, al-Ghazālī mengingatkan kepada murid agar tidak bersikap sombong dan hanya ingin belajar kepada guru yang populer dan terkenal keahliannya saja. Sebaliknya, dia harus menghormati dan belajar kepada siapa saja yang tulus ikhlas dalam mengajarkan ilmu untuk mencapai kebijaksanaan dan kebahagiaan (Ihya’: 50). Apa yang lebih penting lagi di sini adalah mencari guru merupakan satu proses untuk menjaga agama dan memastikan ketulenan disiplin ilmu yang diwarisi. Hal ini berdasarkan perintah Allah SWT di dalam al-Qur’ān bahwa umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan amanah kepada mereka yang berhak (al-Nisā’: 58), dan untuk bertanya kepada orang yang berilmu (ahl al-dzikr), jika tidak mengetahui sesuatu (al-Nahl: 43). Sebab, segala ilmu agama akan dipertanggungjawabkan dari mana sumbernya. Sebagaimana nasehat baginda Rasulullah s.a.w. kepada Ibnu ‘Umar r.a.: “Wahai Ibnu ‘Umar, agamamu! agamamu! Ia adalah darah dan dagingmu. Karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah, jangan kamu mengambilnya dari orang-orang yang menyimpang.” (Lihat: Khatib al-Baghdadi, Kitāb al-Kifāyah: 121). Sayyidina Ali r.a. berkata: ”Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ilmu ini adalah agama.” Seorang ulama, Ibnu Sirin pun memberikan wasiat: “sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya.” (Khatib al-Baghdādi, Kitāb al-Kifāyah: 122). KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya “Adāb al-‘Ālim wa al-Muta’allim” juga menasehatkan: “[dalam adab mencari ilmu] pertama-tama, hendaklah murid tersebut berfikir, kemudian melakukan shalat istikharah kepada siapa ia harus mengambil ilmu dan mencari [guru] yang bagus akhlak dan adabnya….. Diriwayatkan dari sebagian ulama’ salaf: “Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil atau belajar agama kalian” (Hasyim Asy’ari, Adāb al-‘Ālim wa al-Muta’allim, peny. Muhammad Ishom Hadzik: 29)

Guru Nadjmi: Belajar dari Realitas

KH. Muhammad Nadjmi Qodir Ibrahim, atau akrab disapa guru Nadjmi adalah salah seorang pimpinan Pondok Pesantren As’ad di seberang kota Jambi. Beliau adalah seorang ulama dan sekaligus politikus sejati sebagaimana dijadikan anak judul dalam sebuah buku yang ditulis oleh santrinya, Fajri al Mughni. “Guru Nadjmi: Pembacaan dan Kenangan Seorang Santri” dijadikan sebagai judul Webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam STAI Ahsanta Jambi guna menelusuri sejarah hidup, kedudukan dan peran beliau di tengah masayarakat Jambi. Tentunya, sang santri dan sekaligus penulis buku “Nadjmi”, Fajri al-Mughni, dihadirkan sebagai narasumber dalam acara webinar tersebut. Fajri mengungkapkan pemanggilan guru Nadjmi sebagai seorang guru atau ulama sekaligus politikus merupakan atas dasar perjalanan hidup guru Nadjmi sejak kecil hingga saat ini. Belajar dari realita hidup dan politik di masa ayahnya sebagai seorang ulama besar Jambi dan berhadapan dengan berbagai pihak termasuk penjajah, menjadikan satu bagian penting dalam kehidupan guru Nadjmi. Menurut Fajri, hal tersebut berpengaruh terhadap sepak terjangnya di masa mendatang yang mengantarkannya menjadi seorang politikus yang mampu berdiplomasi dan tenang menghadapi realitas politik. Bersamaan dengan itu ia juga menjadi guru pembimbing umat, mendidik generasi dengan santun dan penuh rasa sayang sebagai satu titisan untuk menjaga agama Islam dan ajarannya. Sejak awal menuntut ilmu, Guru Nadjmi adalah seorang yang sungguh-sungguh dan melahap berbagai ilmu tanpa pandang bulu. Berbagai jenis ilmu ia baca dan pelajari. Tak hanya ilmu agama di Pondok Pesantren ayahnya, tetapi juga ilmu umum tempat di mana ia sekolah. Fajri menjelaskan guru Nadjmi terkenal sebagai ahli tarikh al-Islam secara luas, sejarah Islam di Indonesia hingga ke Jambi. Sejarah lembaga pendidikan Islam tradisional atau pesantren yang berada di seberang kota Jambi hingga lembaga pendidikan tinggi Islam Jambi, tidak luput dalam pantauan sang Guru. Tak heran, berdasarkan penyampaian Fajri, Rektor UIN STS Jambi saat ini (Prof. Suadi Asy’ari) pernah bersilaturrahmi ke kediaman guru Nadjmi, salah satu bahasannya adalah menanyakan awal mula berdirinya perguruan tinggi Islam Negeri tersebut. Sementara di bidang politik, ia cukup gagah untuk berdialog dengan berbagai elemen, hal ini terbukti ia mampu menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Jambi dalam beberapa periode. Bekal yang ia peroleh dari realitas politik di masa lalu dan aktivitasnya di organisasi sosial keagamaan yaitu Nadlatul Ulama telah mematangkannya menjadi seorang politisi yang sejati. Selain itu, pertemuannya dengan Gus Dur (sebagai tokoh NU ataupun tokoh politik) telah memperlihatkan bagaimana kemapanan guru Nadjmi baik sebagai ulama maupun umara. Menurut Fajri, pesan dari perjalanan hidup guru Nadjmi masih relevan hingga hari ini. Sehingga peristiwa penting dalam kehidupannya dapat diteladani bagi generasi mendatang. Berdialog dan beradaptasi dengan realitas adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan. Di era media digital, dakwah, belajar dan mengambil bagian penting dari kenyataan adalah sebuah keharusan. Bila hal itu diabaikan, enggan berdialog dan beradaptasi dengan realitas, tentu tidak dapat dibayangkan bagaimana generasi mendatang dapat berjuang untuk agama, negara dan bangsanya. *Pusat Studi Islam STAI Ahsanta Jambi